08.09
Redaksi
Kultum : Sunni dan Syi'ah
Oleh Abdul Moqsith Ghazali
“....pertentangan tajam antara fikih Sunni dan Fikih Syiah pernah coba
dilerai Syekh Mahmud Syaltut. Dalam kapasitasnya sebagai rektor, Syaltut
pernah memperbolehkan diajarkannya kembali fikih Syiah di Universitas
al-Azhar setelah absen selama sembilan ratus tahun. Di Iran, Muhammad
Husein Kayif al-Ghita’ melakukan upaya intelektual untuk merukunkan
Sunni-Syiah yang sering bertikai. Di Indonesia, upaya rintisan untuk
mendekatan Fikih Syiah dan Fikih Sunni pernah dilakukan Gus Dur. Namun
usaha rintisan Gus Dur itu belakangan agak meredup seiring dengan makin
menguatnya kecenderungan radikalisme Islam di Indonesia.”
*Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Majalah TEMPO Edisi 3-9
September 2012
Ketegangan Sunni-Syiah kembali memanas. Tajul Muluk, pimpinan Syiah di
Sampang Madura, dijebloskan ke penjara. Persoalan tak selesai sampai di
situ. Beberapa hari lalu Muhammad Hasyim alias Hamamah, pengikut Syiah
di Sampang, dibunuh. Puluhan rumah dibakar dan ratusan orang Syiah
dievakuasi. Investigasi untuk menemukan masalah pokok yang melatari
terjadinya peristiwa masih dilakukan. Ada yang berkata, penyerangan di
Sampang itu tindakan kriminal murni. Namun, Komnas HAM menolak
pernyataan itu. Menurut Komnas HAM, peristiwa Sampang bukan kriminal
biasa. Ada sengketa ideologis antara Sunni dan Syiah di sana. Jauh
sebelum peristwa penyerangan itu meledak telah muncul sejumlah
pernyataan dari sebagian ulama dan tokoh Islam tentang kesesatan Syiah.
Bahkan, tak kurang dari Menteri Agama RI yang berpendapat, Syiah
bertentangan dengan Islam.
Pernyataan para tokoh itu diduga keras ikut mendorong kian memanasnya
ketegangan Sunni-Syiah yang selama ini bagai api dalam sekam. Sementara
publik Islam Indonesia sendiri banyak yang tak mengerti tentang Syiah.
Apa beda antara Islam Sunni dan Islam Syiah? Sekiranya beda, dimanakah
titik bedanya? Jika Syiah dinyatakan sesat, dimanakah letak
kesesatannya? Apakah kesesatan Syiah itu karena melanggar ajaran pokok
(ushul) atau cabang (furu’)? Bisakah Sunni-Syiah dipertemukan bahkan
didekatkan (al-taqrib bayna al-Sunnah wa al-Syi’ah)?
*******
Syiah adalah sekte Islam paling tua. Pemicu awal kemunculannya adalah
soal politik. Alkisah, sekelompok orang pendukung Ali ibn Abi Thalib
(syi’ah Ali) tidak puas terhadap terpilihnya Abu Bakar al-Shiddiq
sebagai pengganti Nabi. Menurut mereka, pengganti Nabi harus berasal
dari keluarga Nabi, sekurangnya satu dari dua, yaitu Ali ibn Abi Thalib
(sepupu dan menantu Nabi) dan al-Abbas (paman Nabi). Namun, karena
jumlah kelompok ”oposan” ini sangat kecil, maka gerak mereka tak sampai
menggoyahkan kepemimpinan Abu Bakar. Setelah Abu Bakar, kekhalifahan
dilanjutkan Umar ibn Khattab lalu Utsman ibn Affan baru kemudian Ali ibn
Abi Thalib.
Dalam kepemimpinannya, Ali menghadapi tantangan yang tak ringan terutama
dari orang-orang yang berambisi menjadi khalifah seperti Thalhah ibn
Abdullah al-Taimi, Zubair ibn Awwam, dan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan.
Persengketaan di internal umat Islam itu mencapai puncaknya dengan
terbunuhnya Ali ibn Abi Thalib di tangan seorang ekstremis Islam bernama
Abdurrahman ibn Muljam al-Himyari al-Muradi.
Namun, sejarah kemunculan Syiah yang didasarkan pada motif politik itu
ditampik kaum Syiah. Menurut mereka, Syiah lahir bukan karena suksesi
politik sepeninggal Nabi tapi lebih karena keniscayaan teologi.
Dikisahkan, dalam perjalanan pulang dari Haji Wada’, Rasulullah
berpidato di Ghadir Hum, ”Barangsiapa yang menganggapku sebagai
pemimpinnya (mawla), maka hendaklah menganggap Ali sebagai pemimpinnya”.
Bagi Syiah, pengganti Nabi itu harus bersifat keagamaan (khilafah
diniyah) dan spiritual (sultanah ruhaniyah). Dengan perkataan lain,
pengganti Nabi harus yang cakap secara intelektual dan matang secara
spiritual.
Orang yang memenuhi dua persyaratan itu adalah orang yang dikatakan
sebagai ruh Rasulullah sendiri, yaitu Ali plus Hasan dan Husain, dua
anak Ali. Alaud Dawlah Simmani, salah seorang murid Najmuddin Kubra
(pendiri Tarekat Kubrawiyah), berpendapat bahwa Ali ibn Abi Thalib
mempunyai hak lebih besar ketimbang tiga khalifah sebelumnya, karena
dalam dirinya terhimpun tiga keunggulan komparatif, yaitu kekhalifahan
(khilafah), kepewarisan (wiratsah), dan kewalian (wilayah).
Seiring waktu, perdebatan dari soal pengganti Nabi itu melebar dan masuk
dalam perdebatan teologis, fikih, bahkan hadits. Polemik Sunni-Syiah
tak melulu perihal siapakah tokoh yang berperan pada periode awal Islam,
melainkan juga diramaikan oleh debat fikih Islam. Umar ibn Khattab yang
menetapkan bahwa suami bisa menceraikan istrinya dengan ”talak tiga”
sekaligus dianggap kaum Syiah sebagai kesalahan tafsir atas suatu ayat
al-Qur’an. Umar juga ditentang atas kebijakannya yang melarang haji
tamattu’. Pembaharuan fikih Islam a la Umar ibn Khattab yang
dibanggakan kalangan Sunni itu justru ditentang ulama Syiah sebagai
pelanggaran terhadap syariah. Polemik pun merasuk pada bidang Hadits,
sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an. Jika ulama Sunni merujuk
pada Hadits Bukhari, maka ulama Syiah merujuk pada Kitab al-Kafi. Ibn
Taymiyah (w. 728 H. /1328 M.) pernah menulis buku, Minjah al-Sunnah
al-Nabawiyah fi Naqd Kalam al-Syi’ah al-Qadariyah (Metode Sunnah dalam
Kritik terhadap Teologi Syiah Qadariyah) untuk mengcounter buku ”Minhaj
al-Sunnah fi Ma’rifah al-Imamah” (Metode Sunnah dalam Memahami Imamah)
karya ulama Syiah, Hasan ibn Yusuf ibn Muthahhar al-Hilli (w. 726
H./1325 M.).
Dalam bentuk aslinya, menurut Hamid Enayat dalam Modern Islamic
Political Thought, perbedaaan Sunni dan Syiah tak terletak pada pokok
ajaran. Perbedaan Sunni-Syiah tak terkait dengan masalah sifat-sifat
Tuhan, fungsi Rasul, kewahyuan al-Qur’an, dan juga tak berhubungan
dengan kewajiban pokok dalam Islam seperti shalat, zakat, puasa, dan
haji. Baik Sunni maupun Syiah, sama-sama menyelenggarakan shalat. Hanya
mereka berbeda dalam menentukan waktu shalat (Sekiranya Sunni shalat
dalam lima waktu, maka Syiah dalam tiga waktu). Keduanya sama-sama
mengeluarkan zakat, hanya mereka berbeda dalam menentukan tarif zakat.
Dua-duanya sama-sama menjalankan ibadah puasa, hanya mereka berbeda
dalam menentukan waktu berbuka. Mereka sama-sama melaksanakan ibadah
haji, hanya mereka berbeda dalam menentukan (sebagian) rukun dan wajib
haji.
Jika dikategorikan lebih jauh, perbedaan Sunni dan Syiah terletak pada
hal berikut. Pertama, baik Sunni maupun Syiah, sama-sama merujuk pada
Qur’an. Hanya mereka berbeda dalam menafsirkan Qur’an. Perbedaan
penafsiran mungkin terjadi akibat perbedaan metodologi bahkan ideologi.
Sama dengan perbedaan tafsir antara Sunni dan Mu’tazilah, NU dan
Muhammadiyah. Perbedaan penafsiran terhadap al-Qur’an ini menyebabkan
wajah Syiah tak tunggal. Ada banyak varian dalam Syiah. Dulu, pembelahan
Syiah terjadi akibat pembelahan tafsir-ideologi, seperti Syiah
Zaidiyah, Syiah Imamiyah, Syiah Isma’iliyyah, maka sekarang friksi Syiah
terjadi akibat perbedaan marja’ (panutan) dan organisasi.
Kedua, perbedaan di dalam memperlakukan Sahabat Nabi. Jika Sunni
berpendapat, seluruh Sahabat Nabi (tanpa kecuali) adalah orang-orang
adil, maka Syiah berpendapat sebaliknya. Tak seluruh Sahabat Nabi adil.
Bagi Syiah, hanya Sahabat Nabi yang adil yang bisa menjadi suri
tauladan, seperti Bilal ibn Rabah, Abu Dzar al-Ghifari. Walau begitu,
menurut Syiah, hanya Para Imam yang tak mungkin berbuat salah (ma’shum).
Ke-ma’shum-an Para Imam inilah yang ditentang kaum Sunni. Bagi Sunni,
hanya Nabi yang ma’shum. Sementara yang lain, baik keturunan maupun
Sahabat Nabi, tak dijamin bebas dari kesalahan. Para pemikir Sunni
kontemporer berpendapat bahwa ke-ma’shum-an versi Syiah yang didasarkan
pada pertalian darah (kepada Nabi) tersebut tak sesuai dengan prinsip
Islam yang mengajarkan egalitarianisme. Sebab, kemulian seseorang tak
ditentukan oleh darah melainkan takwa.
Ketiga, perbedaan dalam memformulasikan fikih Islam. Sementara dalam
bidang fikih, orang Sunni memilih salah satu dari empat mazhab—Hanafi,
Maliki, Syafii, Hanbali—orang Syiah merujuk pada Fikih Ja’fari. Namun,
sejauh menyangkut perbedaan dalam fikih tak ada yang perlu
dikhawatirkan. Bahkan, pertentangan tajam antara fikih Sunni dan Fikih
Syiah pernah coba dilerai Syekh Mahmud Syaltut. Dalam kapasitasnya
sebagai rektor, Syaltut pernah memperbolehkan diajarkannya kembali fikih
Syiah di Universitas al-Azhar setelah absen selama sembilan ratus
tahun. Di Iran, Muhammad Husein Kayif al-Ghita’ melakukan upaya
intelektual untuk merukunkan Sunni-Syiah yang sering bertikai. Di
Indonesia, upaya rintisan untuk mendekatan Fikih Syiah dan Fikih Sunni
pernah dilakukan Gus Dur. Namun usaha rintisan Gus Dur itu belakangan
agak meredup seiring dengan makin menguatnya kecenderungan radikalisme
Islam di Indonesia.
*********
Usaha untuk mempertemukan dan mendekatkan Sunni-Syiah di berbagai
belahan dunia Islam berkali-kali menemui jalan buntu. Salah satu
sebabnya, ada orang-orang dari dua kelompok yang enggan bahkan menolak
upaya pertemuan itu, baik karena alasan politis maupun teologis. Secara
politis, ditengarai terdapat sekelompok orang yang mencari keuntungan
duniawi di balik pertikaian Sunni dan Syiah. Penolakaan teologis pun
terjadi akibat ketidak-mampuan masing-masing dalam membedakan antara
ajaran pokok dan ajaran cabang. Sesuatu yang sebenarnya termasuk ajaran
cabang dianggap sebagai ajaran pokok oleh yang lain.
Bagi saya, dialog untuk membangun saling pengertian antara Sunni dan
Syiah sangat diperlukan agar kerukunan tercapai dan korban tak terus
berjatuhan. ***
0 komentar:
Posting Komentar