Senin, 07 Juli 2014

Kultum : Membaca “Pesan-Pesan Al-Quran” dari Djohan Effendi


Oleh Evi Rahmawati Menurut Kang Jalal, “ada satu benang merah yang mengikat seluruh pembahasan dalam buku ini, bahwa Djohan Effendi menganggap al-Quran sebagai buku petunjuk dan pembimbing moral di dalam kehidupan manusia. Ia menerjemahkannya dari ayat “… dzaalika al-kitaabu laa rayba fiihi hudaa li al-muttaqiin.” Berangkat dari ayat tersebut penulis meyakini al-Quran bukan sebagai kitab sejarah, bukan pula buku hukum. Al-Quran adalah petunjuk moral, yang mengilhami kita bagaimana seharusnya hidup pada zaman sekarang.” Melalui “Pesan-Pesan Al-Quran: Mencoba Mengerti Intisari Kitab Suci” seseorang yang mengenal sosok Djohan Effendi seperti mencandra dari dekat pribadi sang penulis yang tawadhu dan menawan. Ini terpatri melalui pengkuan jujurnya pada kata pengantar buku tersebut: “…ini bukan sebuah karya akademis. Buku ini hadir dengan berbagai keterbatasan mengenai apa yang saya pahami. Tidak lepas dari kekurangan dan kekhilafan, bersifat subjektif, relatif dan tidak final. Buku ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk ditulis sebagai naskah akademis, atau hasil dari sebuah kajian ilmiah.” Demikian Jalaluddin Rakhmat membuka diskusi bulanan Jaringan Islam Liberal mengenai buku Pesan-Pesan Al-Quran karya Djohan Effendi, di Teater Utan Kayu, Jakarta Timur (Selasa 25/09). Buku ini berupaya menyelami makna setiap surat dalam al-Quran. Ditulis secara tersusun mulai dari surat al-Fatihah hingga al-Naas. Bagi Jalaluddin Rakhmat, cara penulis menunjukkan pesan-pesan global dalam al-Quran, tanpa mengupasnya ayat demi ayat, merupakan prestasi yang mengagumkan. Ia mampu meringkas penafsiran atas kitab suci hanya dalam satu buku setebal 264 halaman. Ini cukup memudahkan seseorang yang ingin memahami nilai-nilai luhur al-Quran di sela kesibukannya. Karena untuk mendapatkan inspirasi humanis dari al-Quran, ia tidak perlu berkutat dengan kitab-kitab tafsir yang terangkum dalam banyak jilid. Hanya saja, model penulisan seperti ini memang sedikit menyulitkan para mubaligh atau calon mubaligh yang biasa mengutip ayat demi ayat al-Quran dalam menyampaikan pesan-pesan dakwahnya, urai pembicara yang akrab dipanggil Kang Jalal itu. Kang Jalal juga mengapresiasi cara penulis yang membagi tema-tema dalam al-Quran dan dituangkannya dalam apendiks. Tema-tema yang diangkat selaras dengan fokus perhatian Djohan Effendi sejak dahulu, yakni tema yang ingin menunjukkan bahwa al-Quran merupakan kitab untuk penyempurnaan diri manusia, bahwa al-quran memberikan kepada kita penjelasan mengenai pertentangan antara determinisme dan free will yang menjadi pembahasan kajian filsafat. Juga ada pembicaraan sedikit tentang pluralisme, dan dua bagian terakhir adalah pembelaan terhadap kaum mustad’afin atau kaum proletar dalam ajaran marxisme. Sisi lain yang menarik dari buku ini diperlihatkan penulis melalui penuturan bahasa yang demikian indah. Bahkan ia kerap memunculkan kata yang tak lagi populer di masyarakat, namun sesungguhnya mengandung makna yang dalam dan agung. Kang Jalal terpesona dengan kata pelantan, misalnya, yang digunakan Djohan Effendi untuk menerjemahkan Rabb: “segala puji bagi Dia pelantan semesta alam.” Kata pelantan yang diambil penulis dari tesaurus tersebut mengandung arti : perawat, pengasuh, pembina, pengayom, pencipta, dsb. Berbicara mengenai tesaurus, dalam “Pesan-Pesan al-Quran” Djohan Effendi melakukan puitisasi ayat-ayat al-Quran dengan menggunakan kamus bahasa ini. Pada setiap penjelasannya mengenai suatu surat al-Quran, ia selalu mengakhirnya dengan puisi yang indah. Menurut Kang Jalal, “ada satu benang merah yang mengikat seluruh pembahasan dalam buku ini, bahwa Djohan Effendi menganggap al-Quran sebagai buku petunjuk dan pembimbing moral di dalam kehidupan manusia. Ia menerjemahkannya dari ayat “… dzaalika al-kitaabu laa rayba fiihi hudaa li al-muttaqiin.” Berangkat dari ayat tersebut penulis meyakini al-Quran bukan sebagai kitab sejarah, bukan pula buku hukum. Al-Quran adalah petunjuk moral, yang mengilhami kita bagaimana seharusnya hidup pada zaman sekarang.” Kang jalal juga mengutip pandangan penulis terhadap al-Quran yang dikemukakannya dalam kata pengantar buku ini, “Hubungan seseorang dengan al-Quran, saya rasa, bagaikan hubungan subjek-objek yang bergerak dan tak pernah berhenti. Bagian dari pergumulan seorang thalif dan shalik, pencari dan pejalan, yang berharap pencarian dan perjalanan hidupnya ditutup oleh hembusan nafas terakhir dengan ucapan laa ilaaha illa Allah.” Yang kemudian dilengkapi dalam kata penutupnya, “al-Quran adalah kitab petunjuk untuk berbuat, bekerja, berkarya dan berjasa. Al-Quran adalah sumber hidayah bagi siapa yang percaya untuk mengembangkan dirinya menjadi manusia bertaqwa, yang mampu mengendalikan diri dari perbuatan goda dan dosa, bebas dari rasa takut dan duka cita, sehingga mampu menunaikan fungsi kekhalifahan di muka bumi dan akhirnya berharap dipanggil pulang ke hadirat illahi dengan sapaan mesra: “yaa ayyatuha al-nafsu al-muthmainnah irji’ii ilaa rabbiki raadhiyatan mardiyyah,” wahai jiwa yang tentram, kembalilah pulang kepada Tuhan pemeliharamu dalam keadaan senang dan menyenangi.” Di akhir pembahasannya, Kang Jalal mengkritisi model penulisan tafsir surah demi surah sebagaimana dilakukan penulis, yang cenderung simplistik. Mengingat begitu banyaknya topik yang terkandung dalam setiap surah, maka demi menyederhanakan, akhirnya penulis memusatkan perhatiannya pada topik tertentu saja. Karena itu, ada beberapa persoalan yang kemudian tidak dibahas dalam setiap surahnya. “Kadang-kadang topik yang hilang itu, menurut saya, jauh lebih penting daripada topik yang dipilih oleh mas Djohan,” demikan Kang Jalal, “ tapi ini terlindungi oleh kata pengantarnya yang menunjukkan kerendahan hati Mas Djohan, bahwa buku ini pasti subjektif,” imbuhnya. Mengadopsi gagasan Farid Essack dalam The Qur’an: a User’s Guide, Novriantoni moncoba membaca kedudukan karya Djohan Effendi di antara karya-karya tafsir al-Quran. Farid Essack mengumpamakan pergumulan seseorang dengan al-Quran laiknya hubungan antara Pecinta (lover) dengan Kekasihnya (beloved). Hubungan keduanya menunjukkan beragam bentuk. Bentuk pertama sebagaimana ditunjukkan oleh para Pecinta Buta (uncritical lover), demikian Novri mengutip Essack. Para pecinta dalam model pertama ini biasanya enggan untuk sekedar mempertanyakan kelemahan-kelemahan yang mungkin dimiliki oleh kekasihnya. Novri mengutip pepatah Arab untuk menjuluki tipe pertama ini: wa ayn al-ridha ‘an kulli ‘aybin kalilah (mata yang rela akan tumpul terhadap semua cela). Masyarakat kebanyakan umumnya berada dalam posisi ini, mendaku al-Quran sebagai kitab yang sakral, yang kelebihan-kelebihannya saja tak kuasa mereka jabarkan, apalagi menelusuri kelemahan-kelemahannya, ungkap Novri. Bentuk lain diumpamakan Farid Essack sebagai Pecinta Ilmiah (scholarly lover). Para Pecinta Ilmiah berupaya menjelaskan kepada dunia mengenai keistimewaan-keistimewaan al-Quran seraya menyeru seisi dunia untuk mengamini keistimewaan tersebut. Bentuk kedua ini diperlihatkan oleh para sarjana seperti Aisyah Abdurrahman (Bint al-Shati), Husain Tabataba’I, serta karya-karya kesarjanaan Muslim yang berupaya mengokohkan kesucian al-Quran. Kategori selanjutnya adalah para Pecinta Kritis (critical lover) sebagaimana ditunjukkan oleh Fazlur Rahman, Amina Wadud, Asma Barlas, Nasr Hamid Abu Zaid, dan pemikir-pemikir lain yang tak ragu bersikap kritis atas persoalan-persoalan yang termuat di dalam al-Quran. Novri mencontohkan seorang pemikir Mesir, Muhammad Ahmad Khalafallah yang menulis al-Fann al-Qashashi fi al-Quran (Estetika Bercerita di dalam Al-Quran). Dalam bukunya tersebut penulis menyatakan bahwa kisah-kisah di dalam al-Quran bukanlah fakta. Kisah-kisah tersebut tiada lain sebagai kisah moral, yang perlu ditangkap daripadanya bukan sisi historisitas, melainkan pesan-pesan moral yang ia kandung. Para pecinta kritis, lanjut Novri, berusaha memberikan pemahaman alternatif terhadap al-Quran. Dengan begitu, tak jarang para penafsir dalam kategori ini mendapat kecaman dan kerap dipertanyakan rasa kecintaannya terhadap al-Quran. Tiga kategori di atas merupakan bentuk umum yang menegaskan sikap seorang Muslim terhadap al-Quran. Ada bentuk lain yang juga dibahas Novri dalam kesempatan tersebut, yakni kategori ke empat yang oleh Farid Essack disebut sebagai Friend of lover (kerabat pecinta al-Quran). Ini cocok dilekatkan kepada para orientalis. Maka pada kategori ini muncul nama-nama seperti: W. Montgomery Watt, Wilfred Cantwell Smith, atau Kenneth Cragg. Mereka adalah orang-orang yang berupaya menunjukkan empatinya terhadap al-Quran dan tak sungkan menunjukkan kekaguman mereka akan keistimewaan kitab suci umat Islam tersebut. Bagi Novri, orang-orang dalam kategori ini memberikan kontribusi yang cukup besar untuk umat Islam. Novri mencontohkan ketika ia membaca tulisan Karen Amstrong yang menceritkan detik-detik terakhir kematian Nabi dengan sangat mengharukan dan begitu kuat mempengaruhi pembacanya. Hal-hal semacam ini yang, menurut Novri, tidak bisa dilakukan oleh pemikir muslim. Kategori lain yang disinggung pembicara adalah Para Pengintip (the voyeur) yang menjadi sebutan bagi orang-orang non-Muslim yang melakukan studi tentang al-Quran dan hanya mengungkap sisi-sisi lemahnya saja. Orang-orang dalam kategori ini memandang dan membicarakan al-Quran dengan nada yang pejoratif. Mereka ibarat, “mata yang penuh amarah hanya melihat apa yang nista,” pepatah Arab yang dikutip Novri. Bentuk relasi terakhir ditunjukkan oleh orang-orang yang masuk ke dalam kategori Para Pembantah (the polemicst). Ini ditunjukkan oleh mereka yang fundamentalis terhadap agamanya sendiri dan hanya mengkonsumsi kajian-kajian orientalis (para pengintip) terhadap al-Quran. “Pada mereka, yang penting adalah pembantahan anti-Islam dan atau anti-al-Quran itu sendiri. Uangkapan-ungkapan dan pertanyaan mereka justru terseret pada pandangan fundamentalis terhadap kekasih mereka sendiri. Yang paling penting bagi kaum pembantah ini adalah kesimpulan para revisionis. Pamflet, traktak, dan kampanye internet adalah tempat nongkrong para Pembantah yang paling nyaman,” demikian tulis Novri dalam makalah yang ia berikan malam itu. Bagi Novri, dari keseluruhan kategori di atas, Djohan Effendi melalui karyanya “Pesan-Pesan al-Quran: Mencoba Mengerti Intisari Kitab Suci,” berada pada posisi mengambang, antara scholarly lover dan critical lover. “Bila memperhatikan komitmen penulis dan keseluruhan bukunya yang datar-datar saja, seolah tidak ada perdebatan di sekitar al-Quran, kita bisa melihat penulis sebagai Pecinta Ilmiah saja, yang ingin menunjukkan keindahan dan keagungan al-Quran” ungkap Novri, yang juga mengakui bahwa buku tersebut sungguh indah. Lantas ia mengutip beberapa terjemahan dari penulis, salah satunya surat al-Masa (nyala api): “Binasa kedua tangan Abu Lahab. Sungguh binasa dia. Harta dan segala usahanya tak sedikitpun memberi guna. Akan dicampakkan dia ke dalam api menyala. Juga istrinya yang membawa kayu bakar, pada lehernya jerat tali sabut melingkar.” “Terjemahan ini sungguh indah, terdengar rima dan iramanya. Terasa ada orkestra dalam terjemahan tersebut,” sanjung Novri. Tetapi ketegasan penulis dalam memandang al-Quran bukan sebagai kitab hukum, politik, ideologi, dan bukan pula kitab ilmiah, memperlihatkan posisinya sebagai seorang critical lover. Novri juga mengamini pernyataan pembicara sebelumnya, bahwa buku ini tidak mudah dikutip oleh para mubaligh. Seseorang yang hendak memberikan khutbah jumat misalnya, akan kesulitan memakai buku ini, karena di dalamnya tidak termuat perincian ayat. Ia hanya membahas makna global pada setiap surat. Novri menganggap buku ini sebagai tafsir ijmali, atau bisa juga tafsir munasabah. Bila mengamati literatur tafsir, biasanya sebelum dan sesudah tafsir selalu ada pendahuluan dari sang pengarang yang disebut munasabatul ayat, yang menjelaskan kaitan surat sebelumnya dengan surat setelahnya. Tafsir munasabah inilah yang cocok dilekatkan pada buku karya Djohan Effendi tersebut. Kelebihannya, menurut Novri, “Mas Djohan langsung memberikan mutiara kepada para pembaca, dia tidak mau ambil pusing terhadap berbagai persoalan di dalam al-Quran, seakan-akan tidak ada perdebatan di sana.” Lalu Novri mencontohkan cara buku ini mengurai surat an-Nisaa, misalnya. “Penulis seakan-akan tidak memandang ada persoalan dalam surat tersebut, dan ia sepertinya tidak ingin masuk ke dalam perdebatan-perdebatan yang sengkarut di dalamnya: “Surat an-Nissa ini dimulai dengan penegasan bahwa umat manusia pada dasarnya bersaudara, karena mereka diciptakan dari jiwa dan jenis yang sama. Ini penegasan atas ayat: “yaa ayyuha al-naasu ittaqu Allaha al- ladzii khalaqakum min nafsi wahidatin wa khalaqa minha zaujaha wa batsa minhuma rijaalan katsiira wa nisaa’a.” Ini semacam bantahan terhadap wacana orang-orang yang mengatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Dalam hal ini Mas Djohan menegaskan posisinya, tetapi tidak ingin beradu atau bertarung dengan pandangan orang lain,” ulas Novri. Atau ketika penulis membahas soal waris misalnya, “…dan dalam ketentuan pembagian warisan, berbeda dengan zaman sebelumnya, hak-hak perempuan dijamin. Perempuan diperlakukan sebagai manusia sepenuhnya dan tidak lagi sebagai benda yang bisa dijadikan barang warisan. Laki-laki sebagai penopang keluarga, terutama bagi istri dan anak-anaknya. Bukan sebagai penguasa yang bertindak mengungkung dan menghambat karir mereka. Istri juga berhak mempunyai bisnis dan penghasilan sendiri.” Bagi Novri, di sini jelas sekali posisi penulis sebagai seorang critical lover. Hanya saja, ia tidak menegaskan posisinya dalam mengungkap persoalan-persoalan semisal, bagaimana menafsirkan ayat yang menyatakan bahwa perempuan mendapat bagian setengah dari laki-laki? Atau ayat lain dalam surat yang sama misalnya, yang membenarkan laki-laki untuk menikah sampai empat kali. Penulis sama sekali tidak ingin masuk ke dalam perdebatan-perdebatan tersebut. “Ia seakan-akan menutup mata terhadap beragam kontestasi dalam memaknai ayat. Atau, mungkin begitulah ciri khas para pembaharu generasi terdahulu. Mereka berpretensi mengabaikan wacana yang diusung kaum fundamentalis, dan lebih fokus menggulirkan wacana keislaman yang mereka dengungkan. Kecenderungan semacam itu pula yang ada pada Cak Nur. Ayat-ayat yang dipilhnya hampir tidak pernah ayat-ayat yang problematis. Ayat yang dipilihnya adalah ayat yang progressif dan menopang pandangan-pandangan keislamannya. Sangat kontras dengan generasi berikutnya, para pembaharu masa kini yang harus bertarung dan masuk langsung ke dalam kancah, mempertarungkan intrik demi intrik,” demikian Novri menutup ulasannya atas pemikiran-pemikiran Djohan Effendi yang tertuang dalam karya terbarunya itu.

0 komentar:

Posting Komentar