Menghormati Orang Yang (Tidak) Puasa
Sumber: Catatanku
Dua hari lagi bulan Ramadhan kan menjelang’. Umat Islam akan memulai shaum (puasa) Ramadhan selama satu bulan penuh. Jauh-jauh hari tanda-tanda datangnya bulan Ramadhan itu sudah dirasakan orang Indonesia. Lihat saja di TV, jika iklan sirup Marjan sudah muncul, itu pertanda bulan puasa akan segera tiba. He..he, piss, bercanda.
Selama satu bulan orang Islam yang mengimani kewajiban puasa akan berpantang makan dan minum pada siang hari. Suasana bulan Ramahan di Indonesia sangat kental terasa. Salah satunya dengan mengamati banyak warung makan dan restoran yang tutup pada siang hari. Jika pun tidak tutup, mereka masih buka namun dengan menutup jendela kacanya dengan kain gorden atau tabir lain sehingga orang yang makan di dalamnya tidak terlihat dari luar. Itu cara mereka menghormati orang yang berpuasa meskipun orang Islam tidak pernah meminta harus begitu. Semuanya merupakan kesadaran sendiri saja, dan hal ini sudah berlangsung lama sejak dulu tanpa perlu dikomando atau diajarkan.
Namun kesadaran seperti itu tiba-tiba saja sedikit ‘terusik’ ketika Menteri Agama membuat kicauan di Twitter yang meminta kita menghormati orang yang tidak berpuasa dengan cara tidak perlu memaksa warung-warung makan tutup. Baca ini: Menteri Agama: Hormati yang Tak Puasa, Warung Makan Boleh Buka Siang Hari Selama Ramadan.
Kicauan Menteri itu sekilas tujuannya terdengar baik, namun menurut saya lebay atau berlebihan. Sekelas Menteri Agama tidak perlu membuat pernyataan seperti itu. Orang yang berpuasa tidak pernah meminta dirinya dihormati karena ia sedang berpuasa, begitu pula orang tidak berpuasa tidak pernah minta dirinya dihormati. Itu adalah sikap yang berlebihan.
Diminta atau tidak, orang-orang yang tidak berpuasa pun punya rasa tahu diri dengan tidak mengumbar makan dan minum di dekat orang yang berpuasa. Kalau pun mau makan, mereka sering meminta maaf (yang sebenarnya juga tidak perlu) karena tidak puasa. Kita juga harus ingat bahwa orang yang tidak berpuasa tidak hanya non-muslim, tetapi juga perempuan muslim yang sedang haid, musafir, orang sakit, dan sebagainya.
Salah satu ujian puasa adalah menahan godaan makan dan minum. Anggap saja melihat orang yang makan dan minum itu sebagai godaan iman. Orang yang sedang berpuasa sedang diuji keimanannya. Semakin kuat iman, semakin besar godaannya. Orang yang lulus ujian adalah orang yang bisa menahan diri tidak tergoda hingga waktu berbuka tiba. Godaan seperti ini biasa Anda jumpai ketika anda sedang berpuasa sunnah (misalnya puasa Senin-Kamis) di luar bulan Ramahan. Orang-orang di sekeliling anda makan dan minum, misalnya ada acara makan-makan di kantor, tetapi anda tetap kuat menahan diri untuk menuntaskan puasa sampai waktu Maghrib datang. Ketika waktu berbuka tiba, hati anda pun plong karena dapat mengalahkan godaan untuk membatalkan puasa pada siang tadi. Nikmat, sekali bukan? Maka, begitu pulalah sikap kita selama bulan Ramadhan. Kita tidak meminta orang lain untuk tidak makan dan minum di dekat kita. Kita tidak minta dihormati.
Jika meminta penghormatan kepada orang yang seang berpuasa adalah sikap berlebihan, maka bagaimana dikatakan tidak berlebihan pula kalau anda diminta menghormati orang yang tidak berpuasa dengan tidak memaksa tutup warung-warung makan. Toh orang-orang yang tidak berpuasa sudah dihormati sejak dulu, mereka tidak pernah dilarang makan dan minum pada siang hari. Restoran dan rumah makan tidak pernah dilarang buka pada siang hari. Yang terjadi adalah saling memaklumi seperti yang saya ceritakan di atas.
Jadi, minta dihormati karena berpuasa itu aneh, dan minta menghormati orang yang tidak berpuasa lebih aneh lagi. Pernyataan Menteri Agama itu seolah-olah menganggap orang yang berpuasa (baca: orang Islam) sebagai ‘tertuduh’. Saya khawatir pernyataan Menag dapat berkembang ke arah yang lebih liar. Salah satu posting liar yang ramai di jejaring sosial adalah tantangan kepada Menteri Agama untuk membuat pernyataan menjelang hari besar agama lain, misalnya menyatakan jangan memaksa tutup bandara di Bali pada hari raya Nyepi, hormati orang yang tidak merayakan Nyepi. Jika ini yang terjadi, maka akan timbul kegaduhan antar umat beragama akibat pernyataan yang membuat resah. Tentu kita tidak ingin seperti itu, bukan?
Orang Indonesia pada dasarnya punya rasa toleransi atau tenggang rasa kepada pihak lain yang tidak sepaham tanpa perlu harus ditegaskan secara eksplisit. Saling menghormati dan saling memaklumi.
Sumber: Catatanku
Dua hari lagi bulan Ramadhan kan menjelang’. Umat Islam akan memulai shaum (puasa) Ramadhan selama satu bulan penuh. Jauh-jauh hari tanda-tanda datangnya bulan Ramadhan itu sudah dirasakan orang Indonesia. Lihat saja di TV, jika iklan sirup Marjan sudah muncul, itu pertanda bulan puasa akan segera tiba. He..he, piss, bercanda.
Selama satu bulan orang Islam yang mengimani kewajiban puasa akan berpantang makan dan minum pada siang hari. Suasana bulan Ramahan di Indonesia sangat kental terasa. Salah satunya dengan mengamati banyak warung makan dan restoran yang tutup pada siang hari. Jika pun tidak tutup, mereka masih buka namun dengan menutup jendela kacanya dengan kain gorden atau tabir lain sehingga orang yang makan di dalamnya tidak terlihat dari luar. Itu cara mereka menghormati orang yang berpuasa meskipun orang Islam tidak pernah meminta harus begitu. Semuanya merupakan kesadaran sendiri saja, dan hal ini sudah berlangsung lama sejak dulu tanpa perlu dikomando atau diajarkan.
Namun kesadaran seperti itu tiba-tiba saja sedikit ‘terusik’ ketika Menteri Agama membuat kicauan di Twitter yang meminta kita menghormati orang yang tidak berpuasa dengan cara tidak perlu memaksa warung-warung makan tutup. Baca ini: Menteri Agama: Hormati yang Tak Puasa, Warung Makan Boleh Buka Siang Hari Selama Ramadan.
Kicauan Menteri itu sekilas tujuannya terdengar baik, namun menurut saya lebay atau berlebihan. Sekelas Menteri Agama tidak perlu membuat pernyataan seperti itu. Orang yang berpuasa tidak pernah meminta dirinya dihormati karena ia sedang berpuasa, begitu pula orang tidak berpuasa tidak pernah minta dirinya dihormati. Itu adalah sikap yang berlebihan.
Diminta atau tidak, orang-orang yang tidak berpuasa pun punya rasa tahu diri dengan tidak mengumbar makan dan minum di dekat orang yang berpuasa. Kalau pun mau makan, mereka sering meminta maaf (yang sebenarnya juga tidak perlu) karena tidak puasa. Kita juga harus ingat bahwa orang yang tidak berpuasa tidak hanya non-muslim, tetapi juga perempuan muslim yang sedang haid, musafir, orang sakit, dan sebagainya.
Salah satu ujian puasa adalah menahan godaan makan dan minum. Anggap saja melihat orang yang makan dan minum itu sebagai godaan iman. Orang yang sedang berpuasa sedang diuji keimanannya. Semakin kuat iman, semakin besar godaannya. Orang yang lulus ujian adalah orang yang bisa menahan diri tidak tergoda hingga waktu berbuka tiba. Godaan seperti ini biasa Anda jumpai ketika anda sedang berpuasa sunnah (misalnya puasa Senin-Kamis) di luar bulan Ramahan. Orang-orang di sekeliling anda makan dan minum, misalnya ada acara makan-makan di kantor, tetapi anda tetap kuat menahan diri untuk menuntaskan puasa sampai waktu Maghrib datang. Ketika waktu berbuka tiba, hati anda pun plong karena dapat mengalahkan godaan untuk membatalkan puasa pada siang tadi. Nikmat, sekali bukan? Maka, begitu pulalah sikap kita selama bulan Ramadhan. Kita tidak meminta orang lain untuk tidak makan dan minum di dekat kita. Kita tidak minta dihormati.
Jika meminta penghormatan kepada orang yang seang berpuasa adalah sikap berlebihan, maka bagaimana dikatakan tidak berlebihan pula kalau anda diminta menghormati orang yang tidak berpuasa dengan tidak memaksa tutup warung-warung makan. Toh orang-orang yang tidak berpuasa sudah dihormati sejak dulu, mereka tidak pernah dilarang makan dan minum pada siang hari. Restoran dan rumah makan tidak pernah dilarang buka pada siang hari. Yang terjadi adalah saling memaklumi seperti yang saya ceritakan di atas.
Jadi, minta dihormati karena berpuasa itu aneh, dan minta menghormati orang yang tidak berpuasa lebih aneh lagi. Pernyataan Menteri Agama itu seolah-olah menganggap orang yang berpuasa (baca: orang Islam) sebagai ‘tertuduh’. Saya khawatir pernyataan Menag dapat berkembang ke arah yang lebih liar. Salah satu posting liar yang ramai di jejaring sosial adalah tantangan kepada Menteri Agama untuk membuat pernyataan menjelang hari besar agama lain, misalnya menyatakan jangan memaksa tutup bandara di Bali pada hari raya Nyepi, hormati orang yang tidak merayakan Nyepi. Jika ini yang terjadi, maka akan timbul kegaduhan antar umat beragama akibat pernyataan yang membuat resah. Tentu kita tidak ingin seperti itu, bukan?
Orang Indonesia pada dasarnya punya rasa toleransi atau tenggang rasa kepada pihak lain yang tidak sepaham tanpa perlu harus ditegaskan secara eksplisit. Saling menghormati dan saling memaklumi.
0 komentar:
Posting Komentar